Suatu hari di pertengahan Maret....
Suatu malam yang kelebat oleh datangnya butir demi butir air dari atas tempat datangnya sang cakrawala, mendung, petir badai bergelegar seperti jempretan foto..
Aku berjalan riang meninggalkan kantor Public Relation Fakultas Ekonomi, saat itu langit gelap, angin menerjang tajam menghujam, seorang teman meneriaki ..
"Nu, kamu gag bawa motor ??"
"Gag, aku bawa mobil (angkot)" tandasku riang meyakinkan..
Aku menerawang perlahan mengikuti irama langkah kaki, berhati-hati ku memilah setapak demi setapak, jangan sampai sepatu yang akan ku pakai esok hari saat roadshow ke SMA Islam Sultan Agung lecet oleh percikan genangan air berwarna coklat pekat itu.
Dibelakang, teman-teman sibuk berlarian meninggalkan lokasi fakultas ekonomi, menghindari hujan dengan kendaraannya masing-masing. Sendirian, aku berlari lari kecil tanpa mencoba menghindari air berkah itu, mataku hanya memandangi jalan beton memanjang hingga ke depan gerbang mewah Universitas Islam Sultan Agung, di sana aku berhenti sejenak, sekedar berteduh di posko resimen mahasiswa yang mayoritas anggotanya adalah orang sulawesi, kupikir hujan sebentar lagi makin lebat. Sesekali aku memalingkan wajah, melihat teman-teman yang saling merangkul di atas kendaraannya masing-masing, ada juga yang menunggangi mobil.
Sesaat, pemandangan itu mengingatkan ku pada si hitam di kampung halaman. Biasanya, saat hujan seperti ini, aku tak akan risau berpergian nyaman bersama si hitam. Bahkan, terkadang aku bernyeleneh polos & mengajak si hitam berbicara, padahal hanya herbie satu-satunya kendaraan dimuka bumi ini yang dapat berbicara, setidaknya sekalipun itu hanya ada disebuah film hehehe
Tapi sekarang berbeda, aku tak mungkin bersama si hitam di hujan lebat seperti ini, ya disini aku hanya perantau, bagaimana pun title perantau ya seperti ini.
Tak ada kata risau, dunia memang sering kali berputar ke atas dan ke bawah. Bisa saja aku memilih hidup seperti teman-teman itu,tapi apalah artinya kuliah jauh-jauh kalau hidup disana dan disini tidak ada bedanya.
Aku menyebrangi zebra cross berpetak empat dengan macam kendaraan kontainer hingga mobil pribadi berlalu lalang, sayangnya, niatku mencari angkutan kota pada jam dan cuaca seperti ini sepertinya sia-sia. Rasa pesimis akan datangnya mobil penumpang beroda empat itu sepertinya mulai mengganggu, apalagi, hujan makin lebat, mau dimana aku berteduh. Entahlah, aku masih saja bisa menikmati sensasinya, mungkin, karena kondisi seperti ini hampir tidak pernah kurasakan, bayangkan saja, menunggu angkot ditengah hujan petir pada hampir tengah malam buta, seorang diri diujung terotoar yang sepi, disaat mereka yang lain berlomba lomba meninggalkan tempat itu dengan kendaraannya masing-masing, yeah betapa spesial sensasinya bukan.
Entah secara kebetulan atau tidak, seorang asing meneriakiku,
"Mas, karepmu ndi (kurang lebih gitulah) ?"
aku paham maksudnya, tapi ku jawab saja
"aku gag bisa bahasa jawa mas" takutanya, bisa saja percakapan kami berikutnya berlanjut tetap dengan bahasa yang sama, padahal, mana aku paham bahasa jawa sepenuhnya. Ia turun dari motor beat kecilnya, membuka helm, lalu menghampiri ku lebih dekat. Dengan posisi kuda-kuda taekwondo andalanku, aku bersiaga, jangan sampai orang ini berniat jahat, aku berspekulasi, jangan-jangan orang ini adalah tukang begal yang masih menjadi trending topik di Indonesia saat ini, ah tapi kan kalau tukang begal, apa yang mau dibegal nya dari ku, aku hanya seorang konsumen angkutan kota, aku terus berspekulasi, akan kutendang dia dengan Dolio-Chaggi, setidaknya biar sabuk hitam taekwondo ku selama ini ada artinya. Tapi, ketika ia akhirnya mendekat, kutatap wajahnya, aura nya sangat positif, aku berkesimpulan, orang ini berniat baik.
"oh iya, mau kemana mas ?" tanyanya
" kaligawe depan"
"Mari naik mas, jam segini sudah gak ada angkot"
spontan aku mengiyakan, mungkin karena malam yang semakin larut, pada akhirnya aku memilih diantar orang asing ini.
Singkat cerita, aku diantarnya hingga ke SPBU kaligawe, tempatku biasa menapakan kaki tanda pemberhentian. Kondisi jalanan disana penuh oleh genangan banjir, ya wajarlah, namanya juga kota besar di Indonesia, banjir adalah budaya.
Aku menggulung celana jeans hitam yang ku pakai, ku buka sepatu merk vans yang kubeli online beberapa bulan lalu, aku bertelanjang kaki melangkah diatas genangan banjir yang rasanya sedikit lebih dalam dari biasanya. Jalan raya itu berpetak dua jalur, yang satu ke kiri dan yang satunya lagi ke kanan. Aku menyebrangi genangan itu. Sepintas, aku berpikir, mana mungkin aku akan melakukan hal semacam ini di kampung halaman, berjalan diatas genangan banjir yang menjijikan ini, ya sudah mumpung masih jadi perantau, dinikmati saja sensasinya.
Tak jauh setelah beberapa meter menyebrangi genangan itu, aku bertemu dengan dua orang teman, entahlah, kalau biasanya aku tidak suka menyapa orang lain, tapi malam itu kusapa saja, mungkin karena posisiku sebagai general manager dimana mereka adalah bawahan ku, atau mungkin juga, karena satu dari dua orang itu adalah seseorang yang punya posisi dalam pikiran ku akhir-akhir ini.
Ku sapa saja seperlunya, setidaknya, mungkin dari sinilah aku bisa melihat ketulusan beliau dan membangun persepsi beliau, karena mencintai seseorang yang berharta tahta dan jabatan lebih mudah daripada mencintai seorang perantau dari jauh yang hanya datang bermodal tekad dan sibuk memuliakan diri.. ahaay..
Pada akhirnya, aku berjalan diatas rel kereta api seperti biasa, melangkah step demi step ditemani gerimis hujan yang mulai bersahabat, disanalah aku teringat nasehat ibu
-- jadi perantau itu berarti harus bisa melakukan apa-apa sendirian..
belajar hidup susah, supaya kamu tahu dan mengerti bagaimana itu hidup susah..
jadi sederhana, sederhanalah di negeri orang, agar kamu tahu bagaimana itu sederhana..
jangan hidup enak seperti disini, jangan terlalu bergaya seperti disini, jadi sederhana, tapi jual intelektual mu, karakter mu, agama mu, liat siapa yang masih suka kamu dengan kondisi seperti itu, kalau ada itulah perempuan yang benar, yang bisa melihat bayangan sukses dibalik kebohongan mu menjadi sederhana..
bangun sukses mu dari bawah, karena sesuatu yang dimulai dari bawah akan lebih kokoh berdiri dari apapun juga dimuka bumi ini..
Suatu malam yang kelebat oleh datangnya butir demi butir air dari atas tempat datangnya sang cakrawala, mendung, petir badai bergelegar seperti jempretan foto..
Aku berjalan riang meninggalkan kantor Public Relation Fakultas Ekonomi, saat itu langit gelap, angin menerjang tajam menghujam, seorang teman meneriaki ..
"Nu, kamu gag bawa motor ??"
"Gag, aku bawa mobil (angkot)" tandasku riang meyakinkan..
Aku menerawang perlahan mengikuti irama langkah kaki, berhati-hati ku memilah setapak demi setapak, jangan sampai sepatu yang akan ku pakai esok hari saat roadshow ke SMA Islam Sultan Agung lecet oleh percikan genangan air berwarna coklat pekat itu.
Dibelakang, teman-teman sibuk berlarian meninggalkan lokasi fakultas ekonomi, menghindari hujan dengan kendaraannya masing-masing. Sendirian, aku berlari lari kecil tanpa mencoba menghindari air berkah itu, mataku hanya memandangi jalan beton memanjang hingga ke depan gerbang mewah Universitas Islam Sultan Agung, di sana aku berhenti sejenak, sekedar berteduh di posko resimen mahasiswa yang mayoritas anggotanya adalah orang sulawesi, kupikir hujan sebentar lagi makin lebat. Sesekali aku memalingkan wajah, melihat teman-teman yang saling merangkul di atas kendaraannya masing-masing, ada juga yang menunggangi mobil.
Sesaat, pemandangan itu mengingatkan ku pada si hitam di kampung halaman. Biasanya, saat hujan seperti ini, aku tak akan risau berpergian nyaman bersama si hitam. Bahkan, terkadang aku bernyeleneh polos & mengajak si hitam berbicara, padahal hanya herbie satu-satunya kendaraan dimuka bumi ini yang dapat berbicara, setidaknya sekalipun itu hanya ada disebuah film hehehe
Tapi sekarang berbeda, aku tak mungkin bersama si hitam di hujan lebat seperti ini, ya disini aku hanya perantau, bagaimana pun title perantau ya seperti ini.
Tak ada kata risau, dunia memang sering kali berputar ke atas dan ke bawah. Bisa saja aku memilih hidup seperti teman-teman itu,tapi apalah artinya kuliah jauh-jauh kalau hidup disana dan disini tidak ada bedanya.
Aku menyebrangi zebra cross berpetak empat dengan macam kendaraan kontainer hingga mobil pribadi berlalu lalang, sayangnya, niatku mencari angkutan kota pada jam dan cuaca seperti ini sepertinya sia-sia. Rasa pesimis akan datangnya mobil penumpang beroda empat itu sepertinya mulai mengganggu, apalagi, hujan makin lebat, mau dimana aku berteduh. Entahlah, aku masih saja bisa menikmati sensasinya, mungkin, karena kondisi seperti ini hampir tidak pernah kurasakan, bayangkan saja, menunggu angkot ditengah hujan petir pada hampir tengah malam buta, seorang diri diujung terotoar yang sepi, disaat mereka yang lain berlomba lomba meninggalkan tempat itu dengan kendaraannya masing-masing, yeah betapa spesial sensasinya bukan.
Entah secara kebetulan atau tidak, seorang asing meneriakiku,
"Mas, karepmu ndi (kurang lebih gitulah) ?"
aku paham maksudnya, tapi ku jawab saja
"aku gag bisa bahasa jawa mas" takutanya, bisa saja percakapan kami berikutnya berlanjut tetap dengan bahasa yang sama, padahal, mana aku paham bahasa jawa sepenuhnya. Ia turun dari motor beat kecilnya, membuka helm, lalu menghampiri ku lebih dekat. Dengan posisi kuda-kuda taekwondo andalanku, aku bersiaga, jangan sampai orang ini berniat jahat, aku berspekulasi, jangan-jangan orang ini adalah tukang begal yang masih menjadi trending topik di Indonesia saat ini, ah tapi kan kalau tukang begal, apa yang mau dibegal nya dari ku, aku hanya seorang konsumen angkutan kota, aku terus berspekulasi, akan kutendang dia dengan Dolio-Chaggi, setidaknya biar sabuk hitam taekwondo ku selama ini ada artinya. Tapi, ketika ia akhirnya mendekat, kutatap wajahnya, aura nya sangat positif, aku berkesimpulan, orang ini berniat baik.
"oh iya, mau kemana mas ?" tanyanya
" kaligawe depan"
"Mari naik mas, jam segini sudah gak ada angkot"
spontan aku mengiyakan, mungkin karena malam yang semakin larut, pada akhirnya aku memilih diantar orang asing ini.
Singkat cerita, aku diantarnya hingga ke SPBU kaligawe, tempatku biasa menapakan kaki tanda pemberhentian. Kondisi jalanan disana penuh oleh genangan banjir, ya wajarlah, namanya juga kota besar di Indonesia, banjir adalah budaya.
Aku menggulung celana jeans hitam yang ku pakai, ku buka sepatu merk vans yang kubeli online beberapa bulan lalu, aku bertelanjang kaki melangkah diatas genangan banjir yang rasanya sedikit lebih dalam dari biasanya. Jalan raya itu berpetak dua jalur, yang satu ke kiri dan yang satunya lagi ke kanan. Aku menyebrangi genangan itu. Sepintas, aku berpikir, mana mungkin aku akan melakukan hal semacam ini di kampung halaman, berjalan diatas genangan banjir yang menjijikan ini, ya sudah mumpung masih jadi perantau, dinikmati saja sensasinya.
Tak jauh setelah beberapa meter menyebrangi genangan itu, aku bertemu dengan dua orang teman, entahlah, kalau biasanya aku tidak suka menyapa orang lain, tapi malam itu kusapa saja, mungkin karena posisiku sebagai general manager dimana mereka adalah bawahan ku, atau mungkin juga, karena satu dari dua orang itu adalah seseorang yang punya posisi dalam pikiran ku akhir-akhir ini.
Ku sapa saja seperlunya, setidaknya, mungkin dari sinilah aku bisa melihat ketulusan beliau dan membangun persepsi beliau, karena mencintai seseorang yang berharta tahta dan jabatan lebih mudah daripada mencintai seorang perantau dari jauh yang hanya datang bermodal tekad dan sibuk memuliakan diri.. ahaay..
Pada akhirnya, aku berjalan diatas rel kereta api seperti biasa, melangkah step demi step ditemani gerimis hujan yang mulai bersahabat, disanalah aku teringat nasehat ibu
-- jadi perantau itu berarti harus bisa melakukan apa-apa sendirian..
belajar hidup susah, supaya kamu tahu dan mengerti bagaimana itu hidup susah..
jadi sederhana, sederhanalah di negeri orang, agar kamu tahu bagaimana itu sederhana..
jangan hidup enak seperti disini, jangan terlalu bergaya seperti disini, jadi sederhana, tapi jual intelektual mu, karakter mu, agama mu, liat siapa yang masih suka kamu dengan kondisi seperti itu, kalau ada itulah perempuan yang benar, yang bisa melihat bayangan sukses dibalik kebohongan mu menjadi sederhana..
bangun sukses mu dari bawah, karena sesuatu yang dimulai dari bawah akan lebih kokoh berdiri dari apapun juga dimuka bumi ini..