Sabtu, 12 September 2015

ROTTERDAM - A STORY ! (Episode 1)


30 Agustus 2015, mungkin bukan tentang bagaimana aku bisa melalui ini bersama mereka, atau hal apa yang membuat kami bisa menapaki satu jalan yang sama disini, sampai kesini, sampai 16 ribu kilometer jauhnya dari kota lumpia itu, sampai kesini, tanah penjajah yang sudah 3 separuh abad yang lalu menginjakan kakinya pertama kali di bumi Nusantara, bukan, ini lebih dari semua itu, bersama mereka, ya bersama mereka, Syafriana Fadillah, Hasran, dan Riko Dwi Saputra.

-----------------------------------

Bandara Schipol Amsterdam tidak sebesar bandara Soekarno-Hatta, setidaknya begitulah yang aku rasakan. Sepi lengang seperti tak menggambarkan title sebagai bandara terbesar di negeri Orange. Entahlah, apa aku benar, aku tidak tahu. Mungkin, karena waktu landing pesawat Qatar Airways yang kami tumpangi bertepatan dengan minggu terakhir dipenghujung bulan ke delapan. Persis pada bukan jam sibuknya dunia perdirgantaraan. Ah ! Entahlah, lagi-lagi apa aku benar.

Siang itu aku dan ketiga temanku telah menorehkan sejarah baru dalam perjalanan hidup kami masing-masing.
"Netherlands, Bro !" "Finnaly we are here !" "What a trip guys !"
Teriakan ketiga temanku itu menggema mengiringi langkah kami, saat beranjak meninggalkan pesawat Qatar Airways Boeing 777-300 menuju ke pintu kedatangan bandara International Schipol. Senyum mengembang dari wajah ketiga temanku itu, pun aku demikian. Entah garis tangan kami atau takdir Tuhan yang menuntun kami sampai disini, entahlah, yang pasti hal ini bukan lagi menjadi sebuah impian. Yang kami tahu, perjalanan ini bukan perjalanan berlibur, lebih dari itu semua, ada tanggung jawab yang datang bersama kami disini. Yang kami tahu, tidak semua anak bisa mendapatkan kesempatan berharga seperti ini. Rasa bersyukur, antusias, nervouse, berpadu jadi satu bagaikan adonan rujak di kantin pumanisa.

Langit biru cerah tanpa celah menyambut bak permata. Dari ujung koridor pintu kedatangan, nampak pesawat-pesawat dengan berbagai macam genre dan jenis berparkir ria dengan megahnya. Merpati dan sekawanan burung lainnya terbang bersilangan seolah berucap selamat datang pada kami. Petugas pengecekan paspord dan imigrasi pun tak kalah ramahnya. Dengan style rambut mohawk ala Johnny Christ kami dilayaninya dengan sangat baik. uh ! What a nice start !

----------------------------------------

"So, lets decide our direction" Hasran bergumam meyakinkan. Seolah tahu apa yang kami butuhkan.
"Ke Amsterdam Central, ada dibawah, cari tempat buat ov-chiipkaart, naik Train ke Rotterdam Central" Jawab Dilla tak kalah meyakinkan, sembari membuka catatan kecil yang ia tulis saat training perdana kami sebulan sebelumnya. Catatan berisi semua hal yang harus kami lakukan setibanya disini. Wajarlah, sebagai sekumpulan New Comer di negeri orang, menentukan arah adalah prioritas untuk terus survive. Apalagi, this is the first time untuk kami semua.

"Service center ada disebelah sana, sepertinya kita bisa buat ov-chiipkart disana. Oya dari titik ini, kalian tidak boleh malu bertanya, malu bertanya sesat dijalan, sesat dijalan berarti gameover"
kami tertawa kecil mendengar intruksi Hasran barusan. Realita yang dibungkus dengan candaan. Benar apa yang dia ucapkan. Kami pun paham betul untuk masalah yang satu ini.

Suasana Amsterdam Central sangat padat siang itu. Kontras dengan apa yang kami temukan saat berada di bandara Schipol, walau hanya dibatasi eskalator yang kurang dari beberapa meter saja. Dari jauh, kumpulan manusia yang sibuk berlalu lalang dengan tentengannya masing-masing sudah lebih dulu mengusik mata kami. Beragam etnis, oriental, arabian, balkan, hingga beberapa orang asal Indonesia pun ada disana. Hal itu seolah jelas menggambarkan besarnya minat warga asing di negeri kincir angin ini, entah hanya untuk berlibur atau sebagai tempat bekerja.

Central Station itu didesign sangat modern dengan langit-langit yang begitu artistik. Dari tempat kami berdiri, terlihat banyak toko dan restaurant yang berdiri melingkar. Ada juga eboard-eboard modern lengkap dengan tanda penunjuk arah dan papan informasi yang sebagian besar menggunakan bahasa Belanda. Sekitar 20 meter ke selatan, nampak pintu keluar Amsterdam central yang juga tidak kalah modernnya. Berbalut kaca bening dengan sistem keluar masuk yang entah bagaimana cara kerjanya. Lalu, tepat disebelah tenggara, beberapa eskalator yang langsung mengarah ke bawah tempat Train menyinggahi para consumernya. That is our direction !

"Ov-chiipkart udah diisi, masing-masing 30 euro, digunakan seminimal mungkin ya" detail Dilla menjelaskan sambil menyodorkan 3 keping blue-card kepada kami yang entah bagaimana cara kerjanya.

"Ini gimana cara kerjanya, Dil?" Tanyaku bingung
"Entahlah, nanti juga kita bakal tahu kok"
"ya benar, kita gerak dulu deh" Riko menambahkan.

Kami beranjak menuruni eskalator ke lima dari tujuh pilihan eskalator yang kami jumpai. Sesampainya di dasar, ada 2 jalur rel Train yang tersedia, satu ke barat dan satu lagi ke timur. Sesekali kami coba memahami sign penunjuk arah dan eboard information yang terpampang diatas jalur train itu, disana tertulis, Den Haag Central 5, Rotterdam Central 7, dan Utrecht Central 9. Entah apa maksudnya, kami belum tahu pasti.
"Terus gimana ni ?"
"Thats why we learn English, let ask somebody !" Gumam ku menjawab pertanyaan Riko barusan.

Setelah bertanya ke beberapa consumer lain disana, jalur arah barat dengan 7 menit menunggu untuk Train ke Rotterdam Central adalah tujuan kami berikutnya. Hanya saja, masalah selanjutnya adalah, how to use this ov-chipkaart ?

"tuh lihat, nempelin disitu deh kayaknya" pinta Dilla dengan tangannya menunjuk ke mesin kecil disebelah kanan kami.
"ya orang-orang itu nempelin ov-chiipkart nya disitu. Itu yang mas Ikhsan bilang kemarin. Kita mesti check in dulu" walau dengan wajah setengah setengah, Riko berusaha meyakinkan kami.
"sek, We need to ask anymore" Hasran beranjak menyapa beberapa orang disana.
"Bener, tinggal dinempelin aja, terus nanti kalau udah sampai Rotterdam Central, kita musti check out lagi"
"yaudah, ayo!"

Sekitar beberapa detik kemudian, Train dengan eboard bertuliskan Rotterdam Central pun tiba. Kami bergegas. Masih dengan koper dan tas jenjeng kami masing-masing.

Setelah menaiki beberapa anak tangga, kami duduk di gerbong atas dengan 20 tempat duduk disana yang saling hadap berhadapan. Tempat duduk itu kosong, hanya ada satu consumer, ibu paru bayah dengan tas ransel yang dipakainya.

Hari itu, aku mencatat, ini adalah pertama kali aku menumpangi kereta listrik untuk berpergian. Ya, sayang sekali, di Indonesia kereta seperti ini belum ada. Kereta yang gerbong-gerbongnya berjalan beriringan dengan suara yang tak berisik. Kereta yang selama ini hanya bisa aku nikmati saat membaca majalah atau menonton televisi. Sekarang aku berada di dalamnya, menaikinya bersama teman-teman sebagai seorang consumer.
Bersambung.......

0 komentar:

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com

Posting Komentar